Aku Tidak Mau Berbohong Ibu ~ Pendidikan Anak-Anak

Senin, 09 Desember 2013

Aku Tidak Mau Berbohong Ibu


 Siang itu matahari begitu terasa panas untuk dirasakan bagi orang-orang yang berada di luar rumah. Jalan-jalanpun dipenuhi anak-anak dengan pakaian seragam sekolah yang sedang pulang sekolah. Rina seorang anak siswa sekolah dasar kelas satu yang berada di salah-satu wilayah Surabaya baru menginjak lantai depan pintu rumahnya. Dengan suara lirih dan wajah yang kusut Rina mengucapkan salam  “Assalamu ‘alaikum...”. “Wa’alaikum Salam..” jawab bapak ibu Rina. Pada hari itu kebetulan orang tua Rina sedang berkumpul di ruang tamu. Kemudian Rina pun meletakkan tasnya di kursi tamu dan memberi ciuman tangan kepada orang tuanya. “Rina, cepet ganti baju dan makan ya nak”, ibunya pun lalu menyambut Rina. “Iya bu...” jawab Rina. Rina merupakan anak yang berkategori mandiri. Untuk berbagai aktifitas kesehariannyapun banyak dilakukannya dengan sendiri. Hal ini membedakan ia dengan teman-temannya seusianya.

Ketika ganti baju dan makan siang nampaknya dalam fikiran Rina dibebani situasi yang ada di kelas tadi. Dia merasa sedih karena nilai ulangan Matematikanya di bawah rata-rata. Dalam benaknya ia sebenarnya ingin berkata jujur kepada orang tuanya tentang nilai matematikanya tadi. Dari gurunya pun Rina bersama teman-temannya dibagikan lembar jawaban beserta nilainya dan harus diberitahukan kepada orang tua. Bagi Rina permasalahan dan situasi seperti seperti ini merupakan yang pertama kali ia alami. Rina merasa takut jika orang tuanya marah setelah tahu nilai ulangannya. Namun Rina termasuk anak yang baik dan taat kepada orang tua. Baik kepada bapak ibunya dan gurunya. Dalam hatinya berkata “Ya udah lah, kalau saya jujur pasti bapak ibu tidak marah”. Kemudian ia sudah berniat untuk memberitahukan masalah tadi setelah selesai makan.

Tiba-tiba terdengar suara ibunya memanggil dengan nada sedikit keras, “Rina, kalau sudah selesai makan, sini nak!”. Mendengar suara ibunya memanggil wajah Rina memerah dan merasa cemas. Karena cemasnya ia tidak fokus kepada panggilan ibunya tadi dan dalam benaknya hanya rasa takut dimarahi oleh orang tuanya. “Rinaaa...!” ibunya memanggilnya lagi dengan suaranya yang bertambah keras. “Iya bu, ini belum selesai makan,” jawab Rina dengan tergesa-gesa. Setelah selesai makan ia langsung menghampiri ibunya tadi. Wajahnya menunduk seolah-olah tahu apa yang akan terjadi. Nampaknya ia sudah pasrah dengan keadaan, yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu kata-kata dari orang tuanya. “Ini nilai kamu Rin? Ayah ibu kan sudah bilang. Dikurangi mainnya. Lihat tow nak, nilai kamu. Si Marisa (teman Rina) itu lo rajin sekali.Makanya juara kelas. Besok lagi harus banyak belajar ya Rin, jangan main aja terus”. “iya bu...” hanya ucapan itu yang bisa Rina katakan. Kemudian ia pun pergi menuju kamarnya dengan hati yang sangat sedih. Niatnya yang baik ingin jujur kepada orang tuanya pun sirna dengan rasa kecewa karena teguran ibunya tadi.

Menginjak sore hari, Rina sudah bersiap-siap akan berangkat bermain Santi (tetangga Rina) bersama teman-temannya. Namun nampaknya Rina masih teringat teguran dari orang tuanya tadi. Ia ingin sekali minta izin kepada orang tuanya untuk pergi bermain, namun rasa ketakutannya pun membuat dirinya bingung untuk minta izin. Dalam hati sudah percaya bahwa ia tidak mendapatkan izin dari orang tuanya. Namun Rina lagi-lagi berkeyakinan “Kalau minta izin pasti boleh”. Selain itu ia sudah berjanji pada dirinya sendiri, bahwa nanti ia akan cepet-pulang kalau setelah selesai dan akan belajar dengan giat, seperti apa yang ibunya nasihatkan tadi. Kemudian Ia pun beranikan dirinya untuk minta izin kepada ibunya. “Bu, Rina main ke rumah Santi ya. Tadi sudah janji sama teman-teman lo. Nanti Rina cepet pulang kok. Terus belajar bu...”, izin Rina. “Belajar Riiin, sudah saya bilang jangan bermain terus. Kapan belajarnya? Sore bermain, kalau malam nonton TV langsung tidur,iya kan?”, ibunya menegurnya kembali. Rina pun merasa kecewa yang kedua kalinya, kemudian ia pun langsung kekamarnya. Hanya tangisan yang bisa ia lakukan. (selesai).

Jangan ajari anak untuk berbohong. Terkadang orang tua tidak sadar atas sikapnya kepada anak. Seperti yang ada di kisah di atas. Ibu Rina tidak berniat untuk menjadikan Rina anak suka berbohong. Ibunya berniat untuk membuat Rina menjadi anak yang pintar dan rajin belajar. Namun ada segi lain yang harus diperhatikan. Yaitu niat baik Rina. Ada dua niat baik Rina yaitu: (1) Ingin jujur atas nilai matematikanya, dan (2) Ingin minta izain bermain dan berjanji cepet pulang untuk belajar. Niat baik anak itu nilainya kecil tapi bisa berakibat besar. Mungkinkah Rina akan bohong jika nilainya jelek lagi? Dan mungkinkah Rina akan bohong jika mau bermain lagi?

Berbohong mungkin sering digunakan untuk menghindari hukuman atau penolakan. Jika anak akan bereaksi buruk terhadap kebenaran, secara umum, anak mencoba untuk menyembunyikan kebenaran. Sekali lagi, anak-anak mengetahui keterampilan ini di usia kecil mereka dan dewasanya pun menjadi orang yang suka berbohong.

Dalam menyikapi masalah di atas, alangkah baiknya sikap ibu Rina lebih bijak lagi, antara lain: (1) mengetahui penyebab nilai matematikanya jelek. Apakah IQ-nya ataukah minat belajar Rina? Kalau IQ-nya maka orang tua salah apabila menyalahkan si anak. Kalau memang minat belajarnya tentulah sikap yang baik adalah menumbuhkan minatnya bukan belajarnya. Kita bangun minatnya terlebih dahulu, kalau sudah muncul maka belajarnya pun pasti timbul. Yang paling penting adalah kita harus masuk ke dunia si anak terlebih dahulu kemudian sedikit-sedikit kita tanamkan nilai-nilai yang baik kepada anak. Sebagai contoh: dari perkataan Farhan:“Bu, Rina main ke rumah Santi ya. Tadi sudah janji sama teman-teman lo. Nanti Rina cepet pulang kok. Terus belajar bu...”.dari sini kita sudah mengetahui nilai baik Rina yaitu minta izin, menepati janji dan berjanji akan cepat pulang untuk belajar. Alangkah baiknya kita hargai usaha Rina sudah berani minta izin. Dengan menghargai keberanian itu pasti si anak akan terus minta izin setiap kemana ia mau pergi.. Andaikan Rina tidak tepat janji, dengan sendirinya ia merasa bersalah dan jika kita beri hukuman tentunya ia akan ikhlas menerima hukuman tersebut. Di sini jiwa kewibawaan orang tua akan terlihat oleh si anak tersebut.


0 komentar:

Posting Komentar